Monday, June 17, 2013

Mengikuti Wartawan, Tugas Osjur ke 18

Saya tidak yakin bila ini adalah pengalaman sehari bersama wartawan, sebenarnya sebelum saya memutuskan untuk mengangkat ini sebagai pengalaman saya sehari bersama wartawan, saya sudah berusaha mencari wartawan di Bandung, tapi asal tahu saja kebanyakan wartawan yang saya kenal berdomisili di Jakarta, dalam pikiran saya, jika saya pergi ke Jakarta hanya untuk sehari saja, sedangkan tugas kuliah saya menumpuk, maaf-maaf saja, selain itu baru beberapa hari yang lalu saya juga ke Jakarta untuk menemui narasumber wawancara saya, alhasil saya tidak pergi ke Jakarta lagi.


Akhirnya saya memutuskan untuk mengangkat pengalaman sehari saya bersama Mas Seno Gumira Adjidarma, saya pikir, toh dia juga wartawan, meskipun wartawan senior dan merangkap profesi-profesi lainnya yang begitu banyak itu, tapi dia juga kan wartawan, dan saya menghabiskan waktu hampir seharian bersama dia.
Kegiatan yang saya habiskan bersama dia memang tidak ada hubungannya dengan kegiatan wartawan di lapangan yang sehari-harinya getting, mencari bahan berita, mengejar narasumber dan lain-lain, tapi kembali lagi toh dia wartawan kan, dan saya menghabiskan waktu hampir bersama dia seharian.
Selama bersama dia, saya banyak berbincang-bincang mengenai berbagai kegiatan tulis-menulis dan seputar kehidupannya sebagai wartawan, juga tentu saja kehidupannya yang sekarang sedang dia jalani sebagai seorang Penulis, Komikus, Dosen dan Fotografer, sungguh, profesi yang melimpah ruah, oh dan satu lagi, seorang pengembara sejati.
Dia juga menyampaikan kesan-kesan hidupnya selama ini, kebanyakan menurutnya yang berkesan bukan saat ia bekerja di lapangan, sebagai seorang wartawan tapi saat ia pergi jalan-jalan, keliling Indonesia hanya untuk memuaskan dahaganya akan petualangan, ingin merasakan bagaimana rasanya menjalani kehidupan seperti apa yang dia lihat dan di baca di berbagai buku-buku petualnagan semasa dia kecil, bahkan menurutnya kisah Winnie The Pooh pun menginspirasi petualngannya.
Memang sehari bersama Mas Seno ini saya tidak menemukan unsur bagaimana kehidupan wartawan dilapangan itu, tapi ya begitu tadi saya juga banyak mendapat ilmu dari dia, menurut dia, menjadi seorang wartawan harus banyak tahu, kuncinya tentu saja harus banyak membaca buku, buku apa saja, jangan pilih-pilih hanya karena buku itu sampulnya tidak menarik, atau benci pada pengarannya, tapi kembali lagi, membaca itu penting, lahap semua buku yang ada di depan mu, begitu ia menuturkan.
“sekarang aku juga harus membaca buku-buku yang sebenarnya tidak aku suka, tapi tuntutan profesi toh, masa aku sama mahasiswa lebih pintar mahasiswa aku ha ha ha” ucapnya ketika kami memasuki areal jalanan sekitar senayan, meskipun hujan mengguyur tapi tidak membuat beliau lelah, padahal kota Jakarta sudah memasuki bagian gelapnya
“habis ini aku ke Kebayoran, ada penjurian” kesibukan beliau memang tidak ada habisnya, seharian itu saya tahu, meskipun sudah tidak terlalu aktif menulis sebagai seorang wartawan tapi beliau masih mededikasikan dirinya sebagai seorang penulis dan wartawan senior (serta tentu saja profesi-profesi lainnya yang sangat banyak).
Pada hari itu saya juga mendapat pelajaran penting dari beliau, waktu itu jujur saja, persaan saya seperti ditimpa godam berukuran raksasa ketika beliau bertanya saya jurusan apa dan apa alasan saya masuk Jurnalistik, saya kontan menjawab tentu saja karena cita-cita saya, tetapi yang membuat saya seperti di pukul godam dan tentunya akan saya ingat sepanjang masa adalah komentar beliau selanjutnya
“yakin mau jadi wartawan, kalau Cuma itu sih gampang, lulus SMA saja bisa jadi wartawan, ga usah repot-repot sekolah tinggi-tinggi, cape kan, tapi yang bikin beda itu kamu mau jadi wartawan yang kaya gimana, yang jujur atau yang mau di sogok, yang sok tahu atau emang banyak tahu, nah itu yang beda, tinggal pilih saja toh, asal jangan pilih yang sok tahu saja, yang bisanya cuma cengengasan, bikin berita ko kaya samapah iya toh hahaha”
perkataan beliau memang terkesan tidak serius, tawanya yang keluar memang seperti bercanda, nyaris tak pernah terdengar serius, tapi bagi saya lain, itu seperti nasihat, saya belum menjadi apa-apa, saya bukan apa-apa, memasuki dunia jurnalistik saja belum, saya hanya baru mencari ilmunya, belum memasuki duniannya, tapi saya sudah banyak sok tahu, seperti saya sering merasa bisa melakukan semuannya, saya merasa tahu semuanya.
 Hari itu, ketika berhenti tepat di halte busway yang mengantarkan saya ke arah rumah saya saya mengerti dan saya sadar bahwa saya bukan siapa-siapa ilmu yang saya dapatkan di bangku kuliah hanya seperti pemanis saja, yang paling penting adalah pengalamannya, ilmu yang paling berharga adalah pengalaman, mungkin kakak-kakak senior saya lebih banyak penglaman, mereka pun ada beberapa yang sudah bekerja di beberapa media dan saya, saya belum apa-apa jadi saya yakin dan saya juga berharap, bahwa kaka-kakak senior saya tidak hanya berusaha untuk menyatukan kami saja, menjadikan kami angkatan yang kompak saja, kekompakan akan terbentuk seiring waktu, tidak gampang menyatukan 97 kepala dengan isi kepala yang berbeda-beda, pemikiran yang berbeda-beda, tetapi semuannya bisa ko bersatu, angkatan kami adalah angkatan yang saya yakin bisa bersatu dan memang sudah bersatu.

Dan saya juga yakin, Maksud dari kakak-kakak adalah sangat baik, karena kita hidup sebagai mahluk sosial, kita bisa karena bersama dengan orang lain, saling membantu, jadi tentu saja gagasan ini benar, tapi kembali lagi, tidak usah dipaksakan, sedikit-sedikit semuanya akan berjalan sesuai rencana, dan satu lagi, saya senang sekali jika kakak-kakak senior yang tentu saja lebih berpengalaman dari pada kami bersedia membagi ilmunya serta penglamanya kepadaa kami, dengan cara apa dan bagaiman? tentu saja membimbing kami selayaknya seorang kakak yang membimbing adiknya ke jalan yang benar, bukan seorang senior kepda juniornya, karena tahu sendiri, kehidupan senior junior itu seperti apa, dan terakhir terimaksih karena sudah membaca dan memerikasa semua tugas saya.

No comments:

Post a Comment