Jadi yang salah siapa?
Pertanyaan ini akhir-akhir ini
sering sekali menghantui pikiran gue sebanyak gue bergaul dengan berbagai jenis
bangsa mahluk di kampus gue. Bukan, bukan gue sedang mempertanyakan masalah
kasus pedofil Emon di Sukabumi, atau gue tertarik untuk melanjutkan kiprah Emon
di ranah per-pedofilan. Ini murni tidak ada hubungannya dengan Emon, yang pedofil,
Jokowi yang nyapres atau Ical yang dilarang jadi capres hanya karena katanya
bukan dari suku jawa.
Ini murni masalah hidup gue,
kelanjutan karier gue (ceileh macam eksmud aja ngomonginnya karier) dan juga
study gue.
Sebenarnya pertanyaan tersebut
muncul dari rasa penasaran dan berbagai pertanyaan yang muncul sebelum
pertanyaan aneh ini muncul. Jadi sebelum ada pertanyaan, ada pertanyaan
lainnya..ribet amat dah kek tugas pa dekan selamanya..
Ini terjadi semenjak gue masuk
jurusan jurnalistik. Waktu masih Ilkom dosen gue campur-campur dari berbagai
jurusan. Nah pas gue udah masuk penjurusan, dan entah ini suatu anugrah atau
bencana..sialnya gue malah milih jurusan jurnalistik..kenapa jadi sial? Kesialan
tersebut bukan semata-mata karena gue benci profesinya..tapi karena semata-mata
gue baru sadar kalo gue bakal lulus lama, serajin apapun gue, gue bakal
ditinggalin sama temen gue di jurusan lain. Kuliah gue ga bisa kelar dalam
jangka 8 semester..syeeediiiih #akurapopo.
Gue mulai bingung dengan tingkah
pola dosen-dosen gue pada awalnya..berbagai jenis dan tabiat mereka sungguh
mengherankan, mengkhawatirkan dan sekaligus menyebalkan. Gue pun mulai jengah
dan mencoba mencari pelarian. Dan ternyata hal ini pun banyak dirasakan oleh
teman-teman gue juga satu jurusan..mereka, dan juga gue, mulai mempertanyakan
berbagai hal..dari mulai kok bisa sih kayak gitu? ko bisa sih kayak gini? Inginnya
kan begini, bukan begitu banyak sekaliiiiii (backsound- Doraemon).
Tapi makin sini, bukan hanya dosen
gue yang aneh tingkah polanya, teman-teman gue pun semakin aneh juga tingkah
polanya..gue akui, gue punya 95 teman angkatan yang sangat luar biasa kritis,
cerdas, pintar dan ditambah bumbu mereka cantik-cantik dan ganteng-ganteng. Tapi
anehnya pemikiran mereka bagi gue, dari sudut pandang gue semakin luar biasa. Hingga
luar biasanya mereka menjadi berpikiran sempit, dan mulai menyalahkan semua
orang. Bagi gue hal itu lumrah karena mereka dan juga gue tentunya sedang
megalami masa jenuh, transisi, bosan dan segala macam dari masa remaja menuju
dewasa muda.
Tapi apakah masih benar ketika kita
terus-terusan merasa ekslusif? Berbicara di belakang tapi tak merubah system apapun.
Inilah masalahnya.. gue mulai ragu bahwa kami benar..lebih tepatnya sih gue,
bukan kami...apa gue benar dengan bertindak seperti ini. Berprilaku seperti
ini.
Awalnya gue juga sempat
menyalahkan, mendiskreditkan teman-teman gue yang katanya anak kesayang dosen
ini..dia dipilih hanya karena faktor kedekatan. Dosen suka nya yang IPK gede,
padahal IPK ga menjamin kualitas.
Tapi, semakin hari gue merasa kalau
pemikiran tersebut sangat keterlaluan dan luar biasa jahanam. Gue mulai merasa
bahwa ada yang salah kalau gue berpikiran seperti itu. Jika gue benci
sistemnya, mengapa gue harus benci dengan orang yang mencoba menerima dan
menjalani sistem tersebut?
Ada alasan ketika teman-teman gue
mempunyai IPK jauh tinggi lampau diatas gue dan mungkin teman-teman gue yang lain.
Ini soal tanggung jawab dan kewajiban. Jadi disini siapa yang salah? Benarkah tenaga
pengajar kita salah? Atau hanya kita saja yang sedang mencari-cari kambing
hitam untuk dipersalahkan…atau hanya gue saja yang sebenarnya berpikiran
seperti ini dan ternyata salah..hanya Tuhan dan hati masing-masing yang tahu
kebenarnya..
Sebenarnya sedang galau
6 mei 2014, 00.53 pagi.
No comments:
Post a Comment