Sunday, September 20, 2015

Someone Story

Suatu hari, seseorang pernah merasa tidak sepenting itu untuk menjadi manusia. Suatu hari ada hal yang benar-benar membuat seseorang ini berpikir untuk berhenti bertahan, berhenti untuk pura-pura kuat. Suatu hari ada seseorang yang berpikir dia bukan apa-apa. Hanya nothing.


Masalahnya adalah seseorang itu tidak tahu pasti masalah yang sesungguhnya dia hadapi. Dia hanya merasa…sendirian. Dia hanya merasa ditinggalkan. Dia hanya merasa…lelah. Orang itu bilang. Mungkin ada bagian dari dirinya ingin diperhatikan. ingin dianggap penting atau sekadar ditanya kabar.

Karena, Kurang lebih selama 10 bulan yang lalu dia tahu satu hal. Semua kebahagian dalam hidupnya, orang-orang yang menyayanginya, hanya ilusi, semuanya kebohongan demi menutupi kebusukan yang hampir 22 tahun itu dipendam. seseorang itu tidak tahu pasti, hanya saja rasanya terlalu menyakitkan saat seusia itu dia baru tahu kebenarannya.

seseorang itu mulai sadar jika hidupnya dalah frasa ketidaksempurnaan. Hidupnya adalah kepingan-kepingan dari ketidakteraturan dalam setiap pergerakan alam. Tak pernah ada yang benar-benar baik yang pernah dia lakukan. Dengan kata lain hampir semua yang dia pilih adalah ketidak-sinkronan, semua yang dilakukan tak pernah benar-benar berhasil 100%. Dia hanya bagian dari ketidaksempurnaan yang semakin terpuruk karena makin banyaknya ketidakteraturan.

Lalu selama ini, pelukan-pelukan itu apa? Hanya rasa kasihan dan empati yang mungkin tidak akan sama lagi. seseorang ini sudah tahu, tapi karena ketakutan akhirnya seseorang itu pura-pura diam dan berpikir

‘ah, mungkin ini mimpi. Aku masih bagian dari mereka’.

Kasihan.

Dia hanya takut.

Usianya saja yang besar jumlah angkanya, tapi ternyata nyalinya masih seperti anak SD.

Suatu hari seseoarang itu bersikukuh untuk tetap pura-pura baik-baik saja, selama ini dia memang selalu seperti itu, terlalu bahagia, sampai cacing pun iri melihatnya, sayangnya sepuluh bulan yang lalu akhirnya dia yang iri pada cacing. Hidupnya bahkan hanya ilusi.

Seseorang itu dulu tidak pernah iri pada teman-temannya, tapi sekarang dia bahkan iri pada pengemis.

‘kenapa mereka terlalu terlihat bahagia, bahkan saat menadahkan tangan meminta-minta?

kasihan, seseorang ini terlalu sendirian.

Seseorang itu, pada akhirnya bosan dengan pelukan dan pesan-pesan singkat yang saban hari dikirimkan dari rumah, dia sudah tahu kebenarannya. Ya Tuhan ternyata itu semua bohong. Rumahnya terlalu bahagia dengan masalah-masalah sendiri, terlalu bahagia dengan kehidupan masing-masing. Seseorang ini mulai merasa, pada akhirnya dia benar-benar tidak penting untuk semua orang.

Seseorang itu mulai sadar, bahkan tak ada satu orang pun yang benar-benar dekat dengannya. Dia sejatinya hanya sendirian. Pada suatu titik akhirnya dia berpikir, dunia akan tetap berjalan tanpa ada dia sekalipun. Dia melihat sekitar, berkumpul dengan orang-orang yang selalu berkumpul dengannya, dia mulai melihat, kemudian berpikir

mungkinkah mereka juga palsu? Hanya pura-pura berteman saja, lalu besok meninggalkan?

Pada satu titik, akhirnya dia benar-benar lupa bagaimana caranya tersenyum yang nyata, tertawa dengan benar. Akhirnya yang ditunjukan olehnya hanya bahagia pura-pura, selama 10 bulan. Dia berbohong selama sepuluh bulan. Menjadi artis opera sabun yang luar biasa. Mengeluarkan lelucon-lelucon sampah dengan ribuan topeng yang tak pernah ditanggalkannya meski hanya di depan satu orang saja. Dia tertawa, dan tak pernah menangis. Karena dia tahu semua yang di depannya adalah palsu. Dan bersikap palsu adalah hal wajar, mati dibayar mati, palsu dibayar palsu, Setidaknya itulah yang dia pikirkan.

Ketika dia kembali sendirian. Dia diam. Tidak menangis. Karena dalam pikirnya menangis hanya perlakuakn sia-sia yang tak menghemat energy sama sekali. Menangis adalah bagian saat manusia benar-benar merasa akhir hidupanya sudah dekat, menangis adalah bagian saat dia memlih untuk..mati.

Dia diam. Bahkan tak ada satu nomor pun yang benar-benar bisa dipanggilnya saat keadaan darurat, atau sebaliknya tak pernah ada yang menghubunginya saat keadaan darurat, dia bukan hanya minor dari ribuan mayor, tapi juga sesuatu yang transparan untuk orang sekitar, saking tak pentingnya dia hanya angin yang lewat, lalu menghilang.

Dia sadar, tahap depresinya sudah dimulai.

Parahnya, dia egois, tetap ingin memakannya sendirian. Satu sisi dihatinya menjerit, dia butuh pelampiasan, setidaknya seseorang yang tidak akan memberi ribuan wejangan dan kata-kata absolut yang mutlak serta ribuan janji-janji manis dan kata-kata gombal penuh kenikmatan, yang menggetarkan rambut di belakang  kepala, tapi tak sampai di hati sayangnya. 

Dia hanya butuh seseoang yang mau mendengarkan. Mungkin seorang teman yang tidak palsu yang tidak akan meninggalkan ketika tahu dia hanya seonggok monster yang mengerikan. Seorang teman yang mau menerima bukan hanya saat dia bahagia, sakit tapi mau menangis dipemakamannnya, seorang teman yang mampu bertahan saat dia bilang, dia ingin menyerah.

Sayangnya satu sisinya terlalu keras, dia sudah terlalu rapuh dan jenuh, karena pada dasarnya bahkan sebelum semuanya terjadi, seseorang ini adalah tipe yang tidak terlalu terbuka tentang masalah pribadi. Dia adalah ruangan terbuka dengan satu pintu rahasia yang kasat mata. tidak ada satupun orang di dunia yang menyadarinya. Karena semua orang hanya melihat dia adalah ruang terbuka yang luas yang selalu tertawa dan bahagia. Yang selalu mengeluh hanya gara-gara satu potong kecil keju atau seorang dosen killer yang pelit nilai. Karena dia selalu mengeluh hal-hal kecil yang tak penting dan minta ditertawakan jadi orang tidak tahu, jika dia memiliki sejuta rahasia besar dalam hidupnya. Orang tidak tahu jika hatinya rapuh, jika dirinya sebuah boneka rusia dengan banyak wajah didalamnya. Kasiahan, bahkan tidak ada yang mengerti dia.

Suatu hari seseorang ini tidak tahan. Dia ingin bersandar.

Dia

Takut

menangis

lalu

Depresi

Dia tahu, rel kereta atau tali gantungan bukan satu-satunya jalan mutlak yang harus dilipih, atau satu iris di urat nadi bukan jalan untuk mengakhiri atau memulai. Dia tahu masalah tidak akan berhenti hanya gara-gara nyawamu lepas dari raga. Dia tahu ada sejuta hal yang masih ingin dia lakukan meski dia tidak bahagia dengan orang sekitar.

Salah satunya dia ingin coba makan keju tanpa muntah.

Dia tahu rel kereta terlalu ekstrim untuk dicoba, tali gantungan terlalu tinggi untuk tubuh pendeknya gapai, atau irisan di nadi terlalu perih dan berdarah. Karena sesungguhnya seseoarng ini takut darah.

Dia. Pada akhirnya mencoba percaya.

Pada

Seseorang

Disebrang telpon

Pada seseoarang yang bilang

aku tahu rasanya, karena aku pernah mengalaminya. But we can’t pleased everyone. Gue literally berbahagia bertemen dengan lo, kalo bukan dengan lo, siapa coba yang mau nyanyi lagu I need You tereak tereak, hikseu hikseu’

Yang seseorang itu butuhkan, bukan yang mengumbar kata ‘sabar yah’ atau ‘ya ampun sini peluk’. Tapi yang seseorang itu butuhkan hanya satu orang teman yang mau mengingat satu hal kecil yang pernah dilakukan bersama, teman yang mengingat betapa menyenangkannya melakukan itu bersama yang bahkan seseorang ini pun lupa kalau ternyata bernyanyi dibukan ruang karaoke bersama itu adalah hal yang menyenangkan dan berkesan untuk orang lain disebrang telpon. Untuk temannya – yang sekarang mungkin bisa dia percaya dengan seluruh alam bawah sadar dan pemikirannya. teman yang tahu betapa bodohnya seseorang itu saat hampir menanggalkan semua jati dirinya hanya karena sebuah lagu bodoh dari boyband Korea.


1 comment: